PENDIRI NAHDLATUL ULAMA
A. Tokoh-tokoh di balik berdirinya Nahdlatul Ulam
KH. Muhammad Khalil bin KH. Abdul Lathif bin KH. Hamim bin KH. Abdul Karim bin KH.Muharram bin KH. Asrar Karamah bin KH. Abdullah bin Sayid Sulaiman.
Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra.
KH. Muhammad Khalil dilahirkan pada 11 Jumadil akhir 1235 Hijriah atau 27 Januari 1820 Masehi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langsung oleh ayahnya sendiri. Setelah menginjak dewasa beliau ta’lim/belajar diberbagai pondok pesantren. Sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, KH. Muhammad Kholil belajar kepada KH. Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada KH. Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. KH. Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Sewaktu menjadi Santri KH. Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran. Beliau mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran. Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, KH. Muhammad Kholil Belajar di Makkah. Di Makkah KH. Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Makkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani . Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Syeikh Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH. Hasym Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah dan KH. Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama Dahulu punya kebiasaan Memanggil Guru sesama Rekannya, dan KH. Muhammad Kholil yang Dituakan dan dimuliakan diantara mereka.
Sewaktu berada di Makkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Syeikh Muhammad Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Muhammad Kholil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu. karena Syeikh Muhammad Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Makkah, maka sewaktu pulang dari Makkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.
Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Syeikh Muhammad Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Syeikh Muhammad Kholil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus peratus memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Makkah telah berumur lanjut, tentunya tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang didirikannya. Syeikh Muhammad Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaana lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Syeikh Muhammad Kholil al-Maduri .
Dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syamsuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita bergantian menghantam lawan. Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern.
Kesaktian lain dari Mbah KH. Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita KH. Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah KH. Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah KH. Kholil.
Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman Jogyakarta.
Di antara sekian banyak murid KH. Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan penggagas Nahdhatul Ulama / NU). KH. Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang) KH. Bisri Syamsuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar) dan KH. Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus Situbondo).
1. Geo Sosiologi Politik
Masa hidup Kiai Khalil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Khalil melakukan perlawanan;pertama, ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Kiai Khalil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya, salah satu di antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng.
Cara yang kedua, Kiai Khalil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang, pun Kiai Khalil tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Khalil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Khalil, malah membuat pusing pihak Belanda, karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti, seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Kiai Khalil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Kiai Khalil untuk di bebaskan saja.
2. Kiprahnya Dalam Pembentukan Nahdlatul Ulama
Peran Kiai Khalil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi, hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, KH. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digaris bawahi bahwa Kiai Khalil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada KH. Hasyim Asy’ari sendiri. Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar(potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang kiai muda yang cukup ternama pada waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah. Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalm bidang pendidikan dan politik.
Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling berpengaruh pada saat itu.
Namun, Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara itu, Kiai Khalil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.
“Saat ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.” Kata Kiai Khalil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat ini:
وَمَا تِلْكَ بِيَمِيْنِكَ يَا مُوْسَ(17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيْهَا مَآرِبُ أُخْرَى(18)قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوْسَى(19)فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (20) قَالَ خُذْهَا وَلا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الأُولَى(21) وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَى(22) لِنُرِيَكَ مِنْ آيَاتِنَا الْكُبْرَى (23)
” Pesan Kiai Khalil.
As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Khalil datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya. “Kiai, saya diutus Kiai Khalil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.
“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kiai Hasyim.“Ada Kiai,” jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai Khalil.
Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Kiai Khalil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidam idamkankan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi.
“Kiai, saya diutus oleh Kiai Khalil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata As’ad. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan Ya Jabbar, Ya Qahhar (lafadzasma’ul husna) setiap waktu,” tambah As’ad. Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Kiai Khalil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud. Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”.
Tapi, bagaimana Kiai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Kiai Khalil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Kiai Khalil, seorang Kiai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.
3. Respon KH M Khalil Bangkalan terhadap penjajahan Belanda
Madura adalah benteng pertahanan Islam Indonesia. Dengan pandangan ini, sepatutnya kita dapat melihat bahwa, di daerah Madura terdapat seorang ulama yang memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap ilmu dan agama Islam. Sehingga publik memberikannya julukan Syaikhona. Ialah syaikhona Khalil Bangkalan yang dimaksudkan.
Kiai Khalil merupakan tokoh dan pejuang Islam nusantara, yang hidup pada masa penjajahan kolonial Belanda. Tentu tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan dan gejolak perjuangan melawan Belanda. Namun demikian, kiai Khalil tidak langsung terlibat dalam medan pertempuran fisik, melainkan lebih berperan di belakang layar sebagai tokoh kharismatik yang memiliki daya penggerak massa. Pondok pesantrennya, bukan hanya sebagai tempat mengajar dan mendidik santri, melainkan juga sering dijadikan tempat untuk mendiskusikan strategi perjuangan melawan kolonial Belanda. Bahkan para pejuang dari tanah jawa, kerap menjadikan pesantren kiai Khalil sebagai tempat penyusunan strategi melawan Belanda, hingga 20 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan RI.
Sebagai ulama dan intelektual nusantara, secara nyata, kiai Khalil menolak bahkan ikut terlibat mendorong masyarakat untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi nusantara.
4. Metode pengajaran KH M Khalil Bangkalan
Sebagaimana metode dan gaya pengajaran gurunya, tuan guru Dawuh, ternyata Khalil Bangkalan juga melakukan hal yang sama. Cara mengajarnya di sembarang tempat, unik, kondisional dan spontan. Dalam memberi pelajaran tidak harus dipesantren, terkadang ketika sedang sambil berjalan dengan santrinya, terkadang sambil di bawah pohon, dipinggir sungai, di atas bukit.
Namun, karena KH. Khalil Bangkalan memiliki lembaga pendidikan pondokpesantren, publik lebih mengenalnya dalam pemberian pelajaran dengan sistem sorogan, bandongan dan semacamnya.
Model pengajaran KH. Khalil Bangkalan dapat kita amati dari beberapa cerita karamah yang ditulis Saifur Rahman dan Mohammad Rifaí, bahkan ketika KH. Khalil Bangkalan terjun dan melihat masyarakat Bangkalan dan sekitarnya, kerap memberikan pendidikan kepada para santri dan masyarakat. Model pembelajarannya lahir dari lingkungan hidup dan alam sekitarnya. Dengan demikian, proses pembelajaran yang dilakukan kiai Khalil Bangkalan tidak selamanya menggunakan kitab kuning dan berada di masjid dan surau. Bahkan lebih dari itu, proses pendidikannya di lakukan di lingkungan nyata yang lebih luas. Namun yang jelas, model pengajaran dengan uswah hasanah menjadi penghias model pendidikan ala kiai Khalil Bangkalan.
5. Peta konsep pemikiran pendidikan KH M Khalil Bangkalan
Kata-kata peta memiliki makna gambar lukisan, diagram atau bagan. Sedangkan pemikiran dalam kamus ilmiah lebih menggunakan kata penalaran, yang memiliki makna; proses pemikiran secara logis untuk menarik kesimpulan dari suatu kenyataan sebelumnya.
Sehingga makna dari peta pemikiran di sini adalah, diagram pemikiran logis tentang pendidikan Islam oleh KH M Khalil Bangkalan. Sebagai salah satu tokoh yang tidak terbantahkan dalam melakukan penguatan proses islamisasi yang terjadi di tanah jawa dan Madura. Tentunya dengan mendirikan pondok pesantren kademangan sebagai tempat penggodokan kader-kader muslim di masanya dan setelahnya, bahkan sampai saat ini.
Peta Pemikiran kiai M Khalil Bangkalan; bertumpu pada Al Qur’an dan Al Hadist, dasar paradigmatik keilmuannya ilmu alat/ ilmu nahwu-sharrof, ilmu fiqh dan ushul fiqh, ilmu tauhid dan ilmu ahlak, pesantren dan kaderisasi ulama untuk mencetak intelektual muslim yang bersikap kritis dan menolak terhadap penjajahan Belanda dan Jepang, sebagai bukti imperialisme eropa terhadap nusantara. Ketundukan kepada Allah dan Rasul serta ketaatan kepada orang tua serta guru, menjadi bagian sikap hidup yang dipeganginya.
6. Tarekat dan Fiqh
Kiai Kholil adalah salah satu Kiai yang belajar lebih daripada satu Madzhab saja. Akan tetapi, di antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih mendalami Madzhab Syafi’i di dalam Ilmu Fiqh. Pada masa kehidupan Kiai Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain. Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Kiai Khalil dalam tarekat, terbukti bahwa Kiai Khalil dikenal pertamakali dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dab juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di sisi lain, Kiai Khalil pun diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat menggabungkan tarekat dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Kiai Khalil. Memang, Kiai Khalil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Khalil. Namun demikian, perbedaan antara Kiai Khalil dengan kebanyakan Kiai yang lainnya; bahwa Kiai Khalil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Kiai Khalil justru meletakkan dan menggabungkan antara ke duanya (tarekat dan Fiqh).
Dalam penggabungan dua hal ini, Kiai Khalil menundukkan tarekat di bawah Fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Kiai Khalil tersebut.
7. Peninggalan
Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya Kiai Khalil; akan tetapi Kiai Khalil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Kiai Khalil diantaranya:
Pertama, Kiai Khalil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Kiai Khalil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti Kiai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebuireng), Kiai Wahab Hasbullah (Pendiri Pesantren Tambakberas), Kiai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kiai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Kiai Khalil, banyak murid-murid yang dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Kedua, selain Pesantren yang Kiai Khalil tinggal di Madura –khususnya, ia juga meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat.
K.H. Muhammad Khalil, adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren, memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Kiai Khalil, yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan Kiai Khalil. Beliau wafat pada tanggal 29 Ramadhan 1343 H dalam usia 91 tahun karena usia lanjut. Hampir semua pesantren di Indonesia yang ada sekarang masih mempunyai sanad dengan pesantren K.H. Muhammad Khalil.
Diantara peninggalan-peninggalan yang berupa tulisan atau kitab yang pernah di tulis oleh K.H. Muhammad Khalil diantaranya adalah:
1) Kitab silah fi bayannikah
2) Kitab al Matnus Syarif.
3) Kitab terjemah Alfiyah
4) Kitab Asmaul Husna
5) Shalawat kiai Khalil Bangkalan
6) Wirid-wirid kiai Khalil Bangkalan
7) Lembaran berupa do’a-doá dan hizib
B. KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Al Asy’ari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga pendiri pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren.
Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri-santri membaca buku-buku ilmu pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
1. Kelahiran Dan Masa Kecil
Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Layyinah dan dikaruniai enam anak:
1) Halimah (Winih)
2) Muhammad
3) Leler
4) Fadli
5) Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
1) Nafi’ah
2) Ahmad Saleh
3) Muhammad Hasyim
4) Radiyah
5) Hasan
6) Anis
7) Fatonah
8) Maimunah
9) Maksun
10) Nahrowi, dan
11) Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran KH. M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyaroh yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpimelihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Gedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak diselatan kota Jomabng dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah. Principle of early learning (sulit tergantikan dari unsur-unsur asing), mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu.
2. Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidak puasannya terdahap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukuan pengembaraanya menuntut ilmu.
3. Mengembara ke Berbagai Pesantren
Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyimbelajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, Khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh KH. Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH. M. Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan diwajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, Akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali kemasyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ (NU) yang dibawa oleh KH. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), Akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan KH. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Makkah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti. Demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Makkah. Setelah tujuh bulan bermukim di Makkah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai Akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.
4. Kematangan Ilmu di Tanah Suci
Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Makkah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Makkah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh. Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Atib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Makkah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, sebagai bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.
5. Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mendiang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu beliau mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akhirnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang dipilihnya, yaitu sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya. Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang Akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M. Yusuf Hasyim). Pada awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.
6. Mendirikan Nahdlatul Ulama’
Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk mengancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudombanya antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian dianulir dengan keputusan Muktamar Situbondo yang menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada KH.ittahnya.
7. Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogikan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
· Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
· Harta benda yang berlimpah-limpah
· Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhirnya KH. M. Hasyim Asy’ari mengaKH.iri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi Muhammad SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang. Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH.M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.
8. Keluarga Dan Sisilah
Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
· Hannah
· Khoiriyah
· Aisyah
· Azzah
· Abdul Wahid
· Abdul hakim (Abdul Kholiq)
· Abdul Karim
· Ubaidillah
· Mashurroh
· Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
1) Abdul Qodir
2) Fatimah
3) Chotijah
4) Muhammad Ya’kub
9. Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan)
Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaka Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI.
10. Wafatnya Sang Tokoh
Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar.
Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH. M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian beliau ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan Khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, sahahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup beliau, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.
11. Karya Kitab Klasik
Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari sikap dan perilakunya, pemikiranya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa Arab.
Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:
1. Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya.
2. Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar.
3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
4. Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
5. Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
6. Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
7. Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
8. Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan Syaikh. Abdullah bin yasir Pasuruaan.
KH. Wahab Hasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia. Beliau lahir pada bulan Maret 1888, di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur dan wafat pada 29 Desember 1971. Beliau merupakan seorang ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai Wahab membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1941.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan harus mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasionalis sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Wahab bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah Kyai Wahab mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai Bisri Syamsuri Jombang, Kyai Abdul Halim Leimunding, Cirebon, Kyai Haji Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma'shum dan Kyai Cholil Lasem.
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori kyai Wahab dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting kyai Wahab kepada kaum muslim Indonesia. Kyai Wahab telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman. Kini, di tengah nuansa keberagamaan masyarakat yang terjebak pada dogmatisme, kita merindukan hadirnya kembali sosok kyai Wahab Hasbullah dengan Tashwirul Afkar-nya yang telah mencerahkan dan mencerdaskan umat dengan prinsip kebebasan berpikirnya.
1. Pemikir dan Pejuang
Sepulang dari Mekkah, Wahab dinikahkan dengan putri kiai Musa, Maimunah. Setelah menikah, Wahab menetap di Kertopaten Surabaya serta mulaiaktif di kegiatan kemasyarakatan. Bukan Wahab jika tak gelisah saat melihat kenyataan sosial waktu itu, apalagi Indonesia dalam "cengkraman" penjajah Belanda. Kiai Wahab lalu berpikir keras bagaimana caranya menyumbangkan pikiran untuk memperbaiki keadaan. Dari sinilah, Wahab bersama Kiai Mas Mansur, kawan mengaji di Mekkah kemudian membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya (1914)
Awalnya, kelompok ini hanya mengadakan kegiatan dengan peserta terbatas. Tapi berkat prinsip kebebasan yang diterapkan dan topik yang dibicarakan menjangkau lingkup kemasyarakatan, dalam waktu singkat kelompok yang didirikan bersama Mas Mansyur ini sudah sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Bahkan tak sedikit tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu di forum ini membicarakan permasalahan pelik yang dianggap penting (urgen) untuk dibahas.
Selain membidani lahirnya Tashwirul Afkar, masih bersama Mas Mansur, Wahab menghimpun ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Dari organisasi yang memiliki badan hukum 1916 ini, Wahab mendapat restu dari ulama, di antara adalah kiai M. Bisri Syamsuri Jombang, kiai Abdul Halim Leimunding, Cirebon, kiai H. Alwi Abdul Aziz, kiai Ma'shum dan kiai Cholil Lasem.
Adapun untuk menampung aspirasi kalangan pemudanya, disediakan wadah Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang didirikan tahun 1924, yang di dalam wadah itu ada nama Abdullah Ubaid. Organisasi ini, kemudian menjadi cikal bakal Gerakan Pemuda Ansor yang berdiri tahun 1934. Dalam kelompok ini, Wahab mulai memimpin dan menggerakkan gelora pemikiran berdasarkan paham agama dan jiwa nasionalisme. Rupanya, duet Wahab-Mas Mansur tidak sehaluan terus. Akhirnya, retak dan keduanya pun berpisah. Jika tidak, mungkin "jalan sejarah" ormas Islam atau lebih besar lagi umat Islam Indonesia akan "berbicara lain". Tetapi, kemunduran Mas Mansur tak menjadikan Wahab patah arang. Jiwanya yang bebas, selalu ingin mencari penyelesaian masalah, menjadikan Wahab melakukan kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan dan keagamaan. Karena itu, saat kaum pelajar Surabaya mendirikan Islam Studie Club, yang banyak dihadiri kaum pergerakan, Wahab tak menyia-nyiakan kesempatan. Dari forum inilah, Wahab akhirnya berkawan akrab dengan Dr. Soetomo.
Sudah jadi hal umum dan lumrah jika di dalam sebuah organisasi selalu ada gesekan. Demikian juga dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, Syubbanul Wathan, maupun Islam Studie Club solidaritas di mana Wahab berada dalam ruang dan lingkup organisasi tersebut. Kendati demikian Wahab bersikap terbuka. Setidaknya, di situlah perjuangan kiai Wahab diasah sehingga tak membuat kiai satu ini tergilas zaman.
2. Mendirikan NU
Tanggal 31 Januari 1926, di Surabaya tokoh-tokoh Komite Hijaz, di antaranya adalah kiai Wahab, kiai M. Bisri Syamsuri, kiai Ridwan (Semarang), kiai Haji Raden Asnawi Kudus, kiai Nawawi Pasuruan, kiai Nachrowi Malang, serta kiai Alwi Abdul Aziz Surabaya mengadakan urun rembuk. Dari hasil itu, disimpulkan dua hal pokok.
Pertama, mengirimkan delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekkah untuk meminta kepada Raja Saud supaya hukum-hukum menurut mazhab 4; Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali tetap mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah serta kekuasaan raja.
Kedua, membentuk jam'iyah bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) yang bertujuan menegakkan syariat Islam yang berhaluan ke salah satu empat mazhab. Adapun nama "Nahdlatul Ulama" itu merupakan usulan dari KH. Alwi Abdul Aziz. Pada saat penyusunan kepengurusan, kiai Wahab tak bersedia menduduki jabatan Rois Akbar. Wahab merasa cukup untuk sebuah jabatan Katib 'Am (Sekretaris Umum) Syuriah. Sedang jabatan tertinggi organisasi baru ini diserahkan kepada KH. Hasyim Asy'ari, sedangkan Presiden (Ketua) Tanfidziyah dipegang Hasan Gipo. Itulah, kiprah Wahab dalam memberi sumbangan saat Nahdlatul Ulama lahir.
Sedang di masa awal kemerdekaan, Wahab bersama kalangan pergerakan lain, seperti Ki Hajar Dewantoro, Dr. Douwes Dekker, dan Dr Rajiman Wedyodiningrat duduk dalam Dewam Pertimbangan Agung, lalu berkali-kali duduk di kursi parlemen sampai akhir hayatnya pada 1971. Peran cukup menonjol dari kiai Wahab dalam hal ini sebagai negosiator antara pihak NU dan pemerintah. Sebagai seorang negosiator, wajar saja jika Wahab kemudian sangat dekat dengan presiden dan pejabat tinggi lainnya.
Gebrakan lain di tubuh intern NU, ketika bersama-sama tokoh muda lainnya, seperti; kiai Wahid Hasyim dan Idham Chalid menjadikan NU sebagai partai politik untuk bersaing dengan partai lain, yang lebih dahulu mapan dalam gelanggang politik. Usul kiprah NU sebagai partai itu diterima secara bulat dalam Muktamar NU 1952.
Karena itu, tak lama kemudian dalam Pemilu 1955, NU ikut pemilu dan berhasil mengukir sejarah. Sebab NU keluar sebagai salah satu partai besar di samping PKI, PNI dan Masyumi. Memang, Wahab bukan satu-satunya tokoh penting dalam membesarkan NU, tapi peranan Wahab cukup menonjol. Apalagi, Wahab dikenal kompeten sebagai pengatur strategi perjuangan NU yang piawai dalam pergolakan, dari pembentukan MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia), Masyumi sampai NU keluar dari partai Islam itu. Di sini, Wahab terlibat pergumulan dengan tokoh-tokoh, seperti Mas Mansur, Dr. Sukiman, Abikusno Cokrosuyoso, Mr. Sartono, Sukarjo Wiryopranoto, Amir Syarifuddin dan lain-lain.
3. Membangun Tradisi Jurnalistik di NU
Apakah kiprah Wahab cuma sampai di situ? Ternyata tidak! Sebab, bukan sosok kiai Wahab kalau tak selalu memutar otak, gelisah ketika punya cita-cita brilian namun belum bisa terwujud. Karena itu, saat NU belum berkiprah di dunia percetakan dan jurnalistik, kiai Wahab bersama tokoh-tokoh NU lain, membeli sebuah percetakan, serta gedung untuk dijadikan pusat aktivitas NU, yang terletak di Jalan Sasak 23 Surabaya.
Dari gedung ini, dirintis tradisi jurnalistik modern dalam NU. Semua ini semata-mata dilandasi pemikiran Wahab yang sebenarnya amat sederhana, yaitu bagaimana menyebarkan gagasan NU agar secara lebih efektif dan efisien bisa diterima umat, sebab selama itu kiprah dakwah dan penyebaran gagasan dan pemikiran di tubuh NU hanya dijalankan melalui "dakwah panggung" dan pengajaran di pesantren-pesantren.
Dari percetakan itu, dalam waktu berikutnya terbitlah majalah tengah bulanan dengan nama Suara Nahdlatul Ulama. Hampir selama tujuh tahun, majalah satu ini dipimpin oleh kiai Wahab. Dari teknis redaksional majalah ini, lalu disempurnakan kiai Mahfudz Siddiq, menjadi Berita Nahdlatul Ulama. Di samping itu, terbit pula Suluh Nahdlatul Ulama di bawah asuhan Umar Burhan. Tidak cuma itu, sebab masih ada Terompet Ansor yang dipimpin Tamyiz Khudlory dan majalah bahasa Jawa Penggugah, dipimpin kiai Raden Iskandar yang setelah itu digantikan oleh Saifuddin Zuhri.
Tak dapat diingkari, dari kiprah beberapa penerbitan di atas kemudian dalam sejarah dan tradisi kepenulisan di NU, boleh dikata telah melahirkan jurnalis-jurnalis, seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri serta Mahbub Junaidi. Juga, NU sendiri memiliki surat kabar prestisius seperti Duta Masyarakat.
Karena itu, sekali lagi, posisi dan peran kiai Wahab dalam NU adalah memegang andil besar karena meletakkan dasar-dasar organisasi NU dalam hampir semua sektor; dari mulai tradisi intelektual, peletak dasar struktur Syuriah dan Tanfidziyah di NU, jurnalistik sampai siasat bertempur di "medan perang".
Mungkin benar yang pernah diucapkan oleh kiai Wahab, yang sampai sekarang masih populer, "Kalau kita mau keras harus punya keris." Keris dalam hal ini diibaratkan sebagai suatu kekuatan. Kekuatan di sini, tentu saja tak hanya kekuatan dari segi fisik, melainkan kekuatan politik, militer dan juga kekuatan mental (batin). Sebab kita semua tahu, tanpa "kekuatan", apa artinya sebuah cita-cita?
4. Hidup dalam Tiga Zaman
Sebagai seorang kiai yang multidimensional, kiai Wahab dicatat sempat hidup dalam 3 era, zaman pergerakan kemerdekaan, zaman sesudah proklamasi kemerdekaan (Orla) dan zaman Orde Baru. Sepanjang tiga zaman itu, Wahab merasakan bagaimana pahit dan getirnya hidup, terutama di zaman penjajahan. Toh, Wahab dikenal sebagai seorang kiai yang memiliki kharisma, namun tidak lepas juga dari ejekan, fitnah dan hinaan. Di samping itu, tentu saja sanjungan dan kehormatan.
Hampir sepanjang hidup kiai satu ini, perhatian, pemikiran, harta dan tenaga, sepenuhnya dicurahkan untuk mewujudkan cita-cita Islam dan bangsa Indonesia ini melalui NU. Tak heran kalau, demi takjim dan pengabdian penuh itulah, kiai Wahab bahkan tidak pernah absen dalam Muktamar NU selama 25 kali.
Karena itu, meski sedang sakit, kiai Wahab masih berkeinginan bisa menghadiri Muktamar ke-25 di Surabaya dan berharap besar memberikan suaranya bagi partai NU dalam pemilu tahun 1971. Keinginan itu ternyata dikabulkan Allah. Dan, sekali lagi dalam Muktamar Surabaya, kiai kondang ini terpilih sebagai Rois 'Am PB Syuriah NU.
Tetapi, empat hari kemudian, setelah Muktamar Surabaya, ulama yang banyak berjasa dalam organisasi NU serta terhadap bangsa Indonesia ini, dipanggil Allah, tepat tanggal 29 Desember 1971. Tentunya, tak ada kata yang pantas untuk melepaskan kepergian kiai satu ini, selain kesedihan serta rasa kehilangan dan ketakjiman. Lebih dari itu, yang lebih penting adalah "acuan" bagi umat NU untuk meneladani kiprah dan perjuangan yang pernah dilakukan dan diukir sepanjang hidupnya. Sebuah kiprah mulia yang tidak sia-sia untuk diteladani.
KH. Bisyri Syamsuri dilahirkan di desa Tayu, Pati, Jawa Tengah pada 28 Dzul Hijjah 1304 bertepatan dengan 18 September 1886 M. Beliau adalah putra ketiga dari pasangan suami istri Kyai Syamsuri dan Nyai Mariah. Pada usia tujuh tahun KH. Bisyri Syamsuri mulai belajar agama secara teratur yang diawali dengan belajar membaca Al Qur'an secara mujawwad (dengan bacaan tajwid yang benar) pada Kyai Shaleh di desa Tayu. Pelajaran membaca Al Qur'an ini ditekuninya sampai beliau berusia sembilan tahun. Kemudian beliau melanjutkan pelajarannya ke pesantren Kajen. Guru beliau bernama Kyai Abdul Salam, seorang Huffadz yang juga terkenal penguasaannya di bidang Fiqih. Dibawah bimbingan ulama ini beliau mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab, fiqih, tafsir, dan hadits.
Pada usia lima belas tahun KH. Bisyri Syamsuri berpindah pesantren lagi, belajar pada Kyai Khalil di Demangan Bangkalan. Kemudian pada usia 19 tahun beliau meneruskan pelajarannya ke pesantren Tebuireng Jombang. Dibawah bimbingan KH. Hasyim Asy'ari beliau mempelajari berbagai ilmu agama Islam. Kecerdasan dan ketaatan beliau menyebabkan tumbuhnya hubungan yang sangat erat antara beliau dengan hadratus Syaikh. untuk masa-masa selanjutnya.
Setelah enam tahun lamanya belajar di Tebuireng, pada usia 24 tahun beliau berangkat melanjutkan pendidikan ke Makkah. Beliau bersahabat dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah sejak di pesantren Kademangan sampai di tanah suci Makkah. Ketika Adik KH. Abdul Wahab Hasbullah yang bemama Nur Khadijah menunaikan ibadah haji bersama ibunya pada tahun 1914, KH. Abdul Wahab Hasbullah menjodohkan adiknya dengan KH. Bisyri Syamsuri, dan pada tahun itu juga beliau pulang ke tanah air.
Kepulangan ke tanah air itu membawa beliau kepada pilihan untuk kembali ke Tayu atau menetap di Tambakberas. Atas permintaan keluarga Nur Khadijah, beliau menetap di Tambakberas Jombang. Setelah dua tahun menetap dan membantu mengajar di Pesantren Tambakberas, pada tahun 1917 beliau pindah ke desa Denanyar. Di tempat ini beliau bertani sambil mengajar, yang kemudian berkembang menjadi sebuah pesantren. Semula pesantren ini hanya mendidik santri laki-laki, tetapi pada tahun 1919 beliau mencoba membuka pengajaran Khusus bagi para santri wanita. Percobaan ini temyata mempunyai pengaruh bagi perkembangan pesantren, khususnya di JawaTimur. Karena sebelumnya memang tidak pernah ada pendidikan khusus untuk santri putri.
KH. Bisyri Syamsuri termasuk salah seorang ulama yang ikut mengambil bagian dalam kelahiran Nahdlatul Ulama dan selama hidupnya selalu mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk kebesaran Nahdlatul Ulama. Beliau juga dikenal sebagai pejuang yang dengan gigih menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa perang kemerdekaan beliau ikut terjun di medan tempur melawan tentara Belanda dan menjabat sebagai ketua Markas Pertahanan Hizbullah-Sabilillah di Jawa Timur, merangkap sebagai wakil ketua Markas Ulama Jawa timur yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah.
KH. Bisyri Syamsuri adalah seorang ulama besar yang memiliki sifat sederhana dan rendah hati. Meskipun demikian beliau dikenal sebagai ulama yang teguh pendirian dan memegang prinsip. Dalam menjalankan tugas beliau selalu istiqamah dan tidak mudah goyah, terutama dalam memutuskan suatu perkara yang berhubungan dengan syari'at Islam. setiap hukum suatu persoalan yang sudah Jelas dalilnya dari Al Quran, Hadits, Ijma atau Qiyas keputusan beliau selalu tegas dan tidak bisa ditawar-tawar.
Di dalam kepengurusan NU semula beliau menjadi salah seorang a'wan syuriyah. Pada Muktamar NU ke-13 tahun 1950 beliau diangkat sebagai salah seorang Rais Syuriyah. Kemudian setelah KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat pada tahun 1971 Musyawarah Ulama secara bulat memilih beliau menjadi Rais Am PBNU sampai beliau wafat pada hari Jum'at 25 April 1980 dalam usia 94 tahun. Makam beliau berada di komplek Pondok Pesantren Manbaul Maarif Denanyar Jombang, Jawa Timur.
1. Perintis Kesetaraan Gender
Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syamsuri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya.
Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat dihormatinya, hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratus Syaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syamsuri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“.
2. Ahli dan Pecinta Fiqh
Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama.
Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada kenyataan-kenyataan hidup secara baik. Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang dibangunnya di Denanyar.
3. Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu.
Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syamsuri berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti KH. Bisri Syamsuri. Kapankah kerinduan itu terobati.: